Mbah Thohir Bungkuk Singosari Malang

mbah-thohir-bungkuk

Mbah Thohir Bungkuk, pelopor kejayaan Islam di Singosari dan sekitarnya.

KH Muhammad Thohir Singosari atau Mbah Thohir Bungkuk

KH Muhammad Thohir Singosari atau Mbah Thohir Bungkuk sangat terkenal sebagai waliyullah. Meskipun terhitung sebagai pendatang dari Bangil, beliau selalu dikaitkan dengan awal sejarah perkembangan ajaran Islam di Malang Utara, terutama Singosari dan sekitarnya.

Bila ditelisik lebih jauh, Mbah Thohir ternyata memiliki jejak perjuangan yang penuh tantangan untuk mengembangkan ajaran Islam di Malang. Mulai dari perbedaan kepercayaan, budaya dan tradisi masyarakat masa lalu yang mengakar cukup kuat, masa penjajahan Belanda tentu menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan Islam.

Seperti banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, penjajahan Belanda berpengaruh besar terhadap pendidikan. Kolonial Belanda mengusung westernisasi dan Kristenisasi. Sedangkan Mbah Thohir membawa Islam.

Di setiap Keresidenan, agar misinya berjalan baik, Belanda mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang menunjang kepentingan Belanda.

Ini terlihat dari pola three track system (Hardiyanti, 2011:6):

  1. Pendidikan untuk golongan bawah atau rakyat jelata.
  2. Pendidikan untuk golongan atas yang disetarakan dengan Belanda.
  3. Pendidikan untuk golongan Belanda, Eropa dan lainnya.
Lalu pada tahun 1882 Belanda membentuk badan khusus pendidikan Islam bernama Priesterraden untuk mengawasi perkembangan Islam. 

Tahun 1902, Priesterraden mengatur tentang perizinan bagi pengajaran dan pengajian agama Islam yang sangat menyulitkan bagi umat Islam.

Pada tahun 1925, Belanda memperketat aturan tentang pendidikan Islam. Kiyai harus memiliki rekomendasi untuk kegiatan keagamaan.

Tambah parah lagi tahun 1932, Belanda berusaha memberantas madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya yang dinamakan Ordonasi Sekolah Liar atau Wilde School Ordonatie (Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, hal 51-52).

Tentu saja ulah pemerintah Belanda ini menyulitkan perkembangan Islam di Indonesia, termasuk di Singosari.

Seperti apa sepak terjang perjuangan beliau dalam menegakkan ajaran agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW itu? Mari ikuti ulasannya.

Asal muasal Sebutan Bungkuk

Kawasan Bungkuk berkembang menjadi kawasan santri mulai tahun 1830. Ini sejak kedatangan salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang bernama Mbah Chamimuddin.

kawasan-bungkuk
Kawasan Bungkuk berdasarkan metode rasionalistik pada usia bangunan rumah

Meski ada keterangan yang menyebutkan tahun 1780 sebagai awal perkembangan Pondok Bungkuk, sepertinya lebih tepat terjadi pada tahun 1830 Mbah Chamimuddin memulai babat alas di Bungkuk.

Mengapa demikian? Hal ini mengingat perang diponegoro yang terjadi antara tahun 1825 - 1830. Sementara Mbah Chamimuddin adalah laskar atau prajurit dari Pangeran Diponegoro yang lari ke Singosari pasca perang.

Prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Jawa Timur bukan hanya Mbah Chamimuddin. Ada juga jejak Eyang Jugo di Gunung Kawi, Gondanglegi. Banyak juga laskar yang lari ke Trenggalek, Tulungagung bagian selatan, dan sebagainya.

Latar belakang kedatangan Mbah Chamimuddin ke Singosari diyakini banyak pihak karena beliau menghindari penangkapan oleh kolonial Belanda. Hal ini karena pimpinan beliau, yaitu Pangeran Diponegoro, telah ditangkap oleh kolonial Belanda.

Menurut arkeolog, Mbah Chamimuddin tertarik dengan pamor Singosari yang pernah berjaya pada masa lalu.

Meskipun pengaruh Singosari telah memudar karena kejayaan Majapahit, Singosari masih menjadi bagian penting bagi kerajaan Majapahit. Lalu setelah kerajaan Majapahit hancur, Singosari seolah tak memiliki penguasa.

Mbah Chamimuddin ini yang pertama mendirikan pondok di Jl. Bungkuk, Desa Pagentan, Singosari, Kabupaten Malang. Sedangkan sosok Mbah Thohir adalah menantu dari Mbah Chamimuddin yang berasal dari Bangil yang masih memiliki trah Sunan Ampel.

Mbah Chamimuddin masuk ke Singosari dari arah selatan, sekitar tahun 1830 atau setelahnya. Beliau mulai menyebarkan Islam dengan penuh kelembutan.

Lambat laun, masyarakat sekitar mulai tertarik untuk belajar tentang Islam kepada Mbah Chamimuddin.

Karena semakin banyak yang tertarik, Mbah Chamimuddin mendirikan Langgar dan pesantren sederhana dari bambu sekitar tahun 1850. Hal ini dibenarkan oleh KH. Munsyif, cucu Mbah Thohir.

Konon mushola itu berkembang menjadi masjid Thohiriyah yang berdiri kokoh sampai sekarang. Meski di renovasi, istimewanya di dalam masjid ada 4 kayu pilar penyangga asli yang masih dijaga keberadaannya sampai sekarang.

Pesantren yang didirikan Mbah Chamimuddin kini kita kenal dengan nama Pondok Pesantren Miftahul Falah. Inilah komunitas pendidikan Islam tertua di Singosari dan sekitarnya.

Awal penyebutan istilah Bungkuk pun terjadi ketika Mbah Chamimuddin mengajarkan Islam disini. Cara bersembahyang yang membungkuk, menyebar ke masyarakat sekitar.

Cara bersembahyang yang demikian itu tentu saja aneh bagi masyarakat sekitar yang kala itu banyak menganut agama Hindu.

Akhirnya pesantren ini terkenal dengan sebutan Pondok Bungkuk hingga saat ini. Bahkan nama jalan menuju ke pesantren pun dinamai jalan Bungkuk.

Sejak menginjakkan kaki di Singosari, sampai mendirikan pesantren dan langgar, Mbah Chamimuddin butuh waktu sekitar 20 tahun.

Ini kemungkinan karena penyampaiannya yang halus, pelan-pelan, penuh ketelatenan dan tidak menabrak secara langsung tradisi dan kondisi kepercayaan Hindu dan abangan yang ada pada saat itu.

Mbah Thohir Muda menjadi Menantu Mbah Chamimuddin

Mbah Chamimuddin memiliki 7 orang anak. Anaknya yang ketujuh, Siti Hindun Murtosiah menikah dengan Muhammad Thohir yang kemudian terkenal dengan sebutan Mbah Thohir Bungkuk.

Konon, saat putri bungsunya sudah baligh, MBah Chamimuddin meminta salah satu menantunya, Abdullah, tirakat selama 40 hari agar mendapat petunjuk dari Allah SWT. 
Juga ritual khusus di sebelah kanan bagian tiang Masjid, sisi timur laut.
Dikisahkan oleh KH Munsif, tirakat berupa puasa 40 hari ini kasil. Harimau yang tampak pada istikharah Abdullah ternyata bukan sekadar bunga tidur.

Abdullah menyampaikan kepada Mbah Chamimuddin, bahwa dirinya melihat seekor harimau yang berjalan dari arah utara. Lalu Mbah Chamimuddin memerintahkan Abdullah untuk mencarinya sampai ketemu.

Abdullah bergegas ke utara, naik kereta api. Sampai di Stasiun Bangil, Abdullah dihampiri seorang pemuda yang sedang membawa kitab. Mereka bersalaman, lalu berbincang-bincang, seolah sudah kenal. Padahal baru pertama ketemu.

Pemuda itu berkata, "Saya Thohir."

"Mau kemana?" tanya Abdullah.

"Mau ke Singosari," jawabnya singkat. Lalu keduanya pergi ke Singosari.

Menilik fakta sejarah yang ada, kisah ini dikuatkan dengan keberadaan Stasiun Bangil yang mulai dibuka dan beroperasi pada 16 Mei 1878, bersamaan dengan pembukaan jalur Bangil - Surabaya.

Setahun kemudian atau 20 Juli 1879, dibuka jalur Bangil - Malang. Jadi bisa dipastikan bahwa peristiwa itu terjadi setelah pembukaan kedua stasiun itu. 

Perlu diperhatikan, Stasiun Singosari ini bukan stasiun yang sekarang. Tapi masih Stasiun Singosari lama, di timur pasar Singosari.

Kembali lagi kepada kisah Abdullah dan Thohir muda tadi, rupanya keduanya telah berinteraksi sebelumnya melalui telepati. Keduanya ingin bertemu dan dengan izin Allah SWT, akhirnya mereka pun bertemu juga.

Sesampainya di Bungkuk, Thohir muda hanya mengelilingi Bungkuk dan berkata "saya sudah cocok". Lalu dia langsung kembali ke Pasuruan, tanpa menemui Mbah Chamimuddin sama sekali. Agak unik.

Tidak lama, Thohir muda kembali lagi ke Singosari, menemui Abdullah. Baru kemudian Abdullah mengantarnya menemui Mbah Chamimuddin. Abdullah memperkenalkan Thohir muda kepada mertuanya.

Singkat cerita, akhirnya Thohir muda menikah dengan putri Mbah Chamimuddin yang bernama Siti Hindun Murtosiah. 

Dari pernikahan ini beliau dikaruniai anak, yaitu Fatma, Nawawi, Umu Kulsum, Halimah, Zaenab dan Nachrowi.

Thohir muda pun tinggal di Bungkuk, menjadi keluarga ndalem. Beliau juga aktif membantu mertuanya mengembangkan pendidikan Islam. Beliau terkenal tekun mempelajari sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam.

Ketika Alquran masih belum begitu dikenal oleh masyarakat di Indonesia, beliau sudah menulis Alquran dengan tangan. Alquran itu menjadi landasan beliau membantu Mbah Chamimuddin mengajar para santri.

Usia Mbah Chamimuddin semakin sepuh. Akhirnya beliau berpulang dan berwasiat agar Thohir yang menggantikannya memimpin Pesantren Bungkuk.

Waliyullah Kiyai Thohir Bungkuk Singosari

Sepeninggal mertuanya, Mbah Thohir berubah peran menjadi pengasuh atau pemimpin pesantren yang kharismatik dan disegani banyak pihak, termasuk Belanda. Perkembangan pesantren semakin pesat dan terkenal sampai ke berbagai wilayah di Indonesia.

Mbah Thohir terkenal cukup selektif dalam menerima calon santri yang akan belajar di Pondok Pesantren Bungkuk. Mbah Thohir memilih sendiri santrinya. Beliau meminta calon santrinya agar istikharah, sama seperti yang dilakukan juga oleh beliau.

Hasil istikharah inilah yang akan menentukan diterima atau tidak untuk belajar di Bungkuk. Tentu saja ini menjadi daya tarik khusus bagi para calon santrinya.

Upaya ini terbukti manjur dengan lahirnya tokoh-tokoh nasional yang memiliki derajat mulia. Sebut saja:
  1. KH Muhammad Yahya di Pesantren Gading Malang, 
  2. KH Masjkur Singosari yang belum lama ini mendapat penghargaan Pahlawan Nasional, 
  3. KH. Nachrowi Thohir putra bungsunya sendiri yang juga tokoh pendiri NU dengan menjabat sebagai A'wan NU pertama pada usianya yang masih 26 tahun.
Serta masih banyak lagi yang lain.

Karomah Mbah Thohir Bungkuk

Sejak masjid At Thohiriyah berdiri, ada 4 pilar tiang penyangga yang terbuat dari kayu jati, masih utuh hingga sekarang. 

Tapi kondisi masjid sekarang sudah sangat bagus, tidak seperti awalnya. Ini karena mengalami 3 kali pemugaran.

Nah, dari masjid inilah, menurut cerita dari mulut ke mulut, Mbah Thohir bisa melihat Ka'bah. Barangkali saja dulu ini terjadi untuk menepis keraguan warga tentang arah kiblat apakah sudah benar-benar menghadap ke Kiblat.

Inilah kisah yang jamak diketahui para santri dan warga masyarakat sekitar hingga sekarang. Kisah yang mirip dengan kisah Mbah Bolong yang ada di komplek Makam Sunan Ampel Surabaya.

Suatu ketika, hama wereng menyerang tanaman padi warga sekitar. Mbah Thohir pun tergerak untuk turun membantu. Tapi yang dilakukan beliau tak seperti umumnya warga.

Beliau berjalan mengelilingi sawah sambil mengajak padi-padi yang terserang hama itu untuk bertasbih kepada Allah SWT. Dengan izin Allah SWT, gagal panen pun terhindarkan.

Ada lagi kisah diluar nalar manusia lainnya. Dari kisah yang diutarakan salah satu alumni Pondok Bungkuk, bahwa dirinya pernah memperoleh cerita tentang karomah Mbah Thohir.

Suatu ketika ada santri utusan dari Syaikhona Kholil Bangkalan yang berkunjung ke Bungkuk. Santri itu membawa pesan penting. Mbah Thohir memberinya sepotong ruas bambu, tapi syaratnya tidak boleh dibuka di perjalanan.

Santri utusan dari Bangkalan Madura itu bergegas pulang. Di perjalanan, dirinya penasaran. Singkat cerita, santri ini agak mbeling, dia membuka bumbung dari bambu itu.

Betapa kagetnya, seketika dari dalam bumbung itu keluar sapi! Dirinya pun menceritakan hal tersebut ke banyak orang dan akhirnya cerita tersebut menyebar sampai sekarang. 

Entah benar atau tidak kisah ini, yang pasti layak menjadi renungan bahwa apapun itu pastilah datangnya dari Allah SWT.

Lalu ada satu lagi kisah yang kali ini tak perlu diragukan kebenarannya, yaitu saat Mbah Thohir berangkat haji.

Masyarakat sekitar Singosari, bahkan hingga sepanjang perjalanan beliau sampai Surabaya, berjejal memenuhi jalan. Mereka ingin sekali menyaksikan langsung keberangkatan Mbah Thohir pergi haji.

Pergi haji, kala itu membutuhkan waktu berbulan-bulan. Jadi keberangkatan itu mengundang antusias warga dan membuat Belanda kalang kabut tak bisa mengatur warga yang berjubel.

Terlepas dari semua itu, siapa yang menggerakkan hati semua orang untuk hadir? Tentu saja Allah SWT.


Mbah Thohir pemimpin Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah

Karakter Mbah Thohir terkenal luwes. Budi pekertinya yang luhur, sebab teguh mengamalkan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Beliau juga dikenal sebagai pemimpin Thoriqoh yang disegani kemursyidannya.

Setiap tahun kabarnya selalu ada ribuan warga Nahdliyin dan juga jamaah Thoriqoh yang memenuhi Singosari, memperingati Khaul Mbah Thohir. 

Selain khaul, tentu saja semua ingin meneladani kesholehan, kesantunan dan budi pekerti mulia dari Mbah Thohir.

Mbah Thohir wafat pada Selasa Pon 3 Dzulhijah 1351 Hijriyah, atau bertepatan dengan tanggal 28 Februari 1933. Makam beliau bersebelahan dengan makam Mbah Chamimuddin di dekat masjid At Thohiriyah.

Banyak sekali peziarah yang mengunjungi beliau hingga sekarang, bahkan mungkin sampai akhir zaman. (*)