Tingkatan Puasa

Pada 10 hari pertama puasa Ramadhan, kita mendapat Rahmat dari Allah SWT, kemudian 10 hari kedua kita akan memperoleh maghfirah (ampunan dosa-dosa). Akan tetapi semua janji Allah SWT ini bersyarat. 

Ingat! semua Rahmat yang diberikan Allah SWT senantiasa mengandung tanggung jawab, sedangkan janji Allah SWT pasti ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Kalau begini, kamu akan Aku kasih begini, dan seterusnya.

Mumpung kita belum memasuki babak semifinal, yaitu masuk pada 10 hari kedua yang dijanjikan maghfirah (ampunan) di dalamnya, maka yang perlu kita persiapkan adalah bagaimana kita bisa memenuhi syarat-syarat turunnya janji Allah SWT berupa maghfirah tersebut.

kh hasyim muzadi
KH Achmad Hasyim Muzadi

Puasa Didasari Iman

Banyak orang berdo'a, akan tetapi dia tidak memikir apakah dia pantas memperoleh apa yang dia do'akan. Di dalam Hadits Rasulullah SAW disebutkan bahwa puasa yang dijanjikan mendatangkan maghfirah adalah puasa yang memenuhi dua syarat, yaitu iman dan ihtisab (instropeksi diri).

Yang dimaksud dengan syarat adanya iman di dalam puasa adalah puasa yang dilakukan diniati semata-mata karena Allah SWT, karena niat puasa itu beraneka ragam. Misalnya; seseorang berpuasa karena darahnya akan diambil untuk keperluan medis; atau berpuasa agar seseorang mau dia nikahi. 

Puasa yang tidak didasari oleh iman seperti ini tidak bisa mendatangkan maghfirah dari Allah SWT. Puasa yang kita lakukan harus senantiasa dilandasi keimanan. Puasa yang didasari rasa iman memang tidak kelihatan wujudnya, akan tetapi akan tampak nyata hasilnya.

Syarat kedua adalah harus ada ihtisab. Ihtisab berarti hasiba nafsahu (mengoreksi dirinya). Dalam sebuah qaul disebutkan:

طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ

 “Sungguh beruntung orang yang meneliti kesalahannya sendiri, sampai-sampai dia tidak sempat memperhatikan kesalahan orang lain”.

Orang yang bisa melakukan ini akan untung besar. Padahal yang usum (banyak terjadi) adalah orang yang gemar meneliti kesalahan orang lain, sampai-sampai tidak mengerti kesalahan dirinya sendiri.

Kalau puasa sudah dilandasi dengan iman dan ihtisab, maka Allah SWT akan menghapus dosa-dosanya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud dengan dosa yang terhapus oleh puasa adalah dosa kepada Allah SWT (Haqqullah), bukan dosa yang berkaitan dengan hak asasi manusia. 

Karena dosa yang berkaitan dengan sesama manusia harus diberesi dengan cara melunasi hutang-hutangnya atau meminta maaf kepada orang yang bersangkutan atau meminta untuk dibebaskan dari segala tanggungan. Jadi, dosa yang bertautan dengan hak manusia lebih berat dari pada taubat atas dosa kepada Allah SWT semata. 

Sebelum memasuki putaran kedua dari bulan Ramadhan, marilah kita tingkatkan kualitas puasa kita. 

Orang yang berpuasa itu terbagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1. Puasa dengan kualitas pas-pasan

Di sini seseorang hanya meninggalkan makan dan minum, dan hal-hal yang bisa membatalkan puasanya, akan tetapi masih suka menggunjing (ghibah) atau melakukan kemaksiatan-kemaksiatan lain. Orang tersebut tetap memperoleh pahala, akan tetapi pahala tersebut belum bisa menghapus dosa-dosanya yang telah lalu. Puasa jenis ini masih dinilai bagus dari pada tidak berpuasa.

2. Puasa dengan modal pas-pasan namun disertai pengendalian panca indera dan tingkah laku

Di sinilah letak ihtisab (instropeksi diri) itu. Kita tidak perlu mendengarkan infotaintment yang cuma berisi gosip-gosip yang hanya merusak telinga. Meskipun para ulama’ sudah melarang infotainment, namun mereka masih mementingkan uangnya daripada ancaman siksa di api neraka. Puasa pada tingkatan ini sudah bisa menghapus dosa-dosa yang telah berlalu. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا، غًُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab (pengendalian diri), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu

3. Puasa dengan kualitas terbaik

Ini yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah, yaitu para ‘Ibadullah (Hamba-hamba Allah), para Auliya’ (Para Kekasih Allah) dan Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT). 

Pelaksanaan puasa jenis ini menuntut seseorang untuk berpuasa dari segala hal yang bisa membatalkan puasa secara syari’at sekaligus mampu mengendalikan panca indera dan tingkah lakunya sehingga terbentuk ihtisab serta mengosongkan pikiran dan hatinya dari hal-hal selain Allah SWT. 

Orang-orang yang mampu berpuasa pada tingkatan ini diberi anugerah oleh Allah SWT berupa kema’rifatan, yaitu dia tidak hanya mengetahui suatu keadaan, tapi juga mengetahui makna di balik keadaan yang terjadi.(*)

Sumber : Dokumentasi Ceramah KH Achmad Hasyim Muzadi

Posting Komentar untuk "Tingkatan Puasa"