Sejarah Perkembangan Islam

Hasyim Muzadi
KH Achmad Hasyim Muzadi

Sejarah Perkembangan Islam

Saya ingin melanjutkan pembicaraan tentang tarikh tasyri’ atau sejarah perkembangan Islam

Sayyidina Ali RA wafat pada tahun ke-40 H, atau 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang wafat pada tahun ke-10 H. Dalam kurun waktu 30 tahun, dunia Islam dipimpin oleh 4 Khalifah, yaitu; Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib RA. 

Ali bin Abi Thalib RA wafat dibunuh oleh Ibnu Muljam, kemudian dimakamkan di Nejf (daerah Irak bagian selatan). Di sana pula, Hasan dan Husain hidup. 

Jarak perjalanan antara Baghdad ke Nejf kira-kira sekitar 3 jam atau sekitar jarak Malang-Lumajang atau Malang-Trenggalek. 

Dengan wafatnya Sayyidina Ali RA, periode Sahabat berakhir, kemudian muncul generasi Tabi’in. Tabi’in secara bahasa berarti pengikut. Secara istilah, Tabi’in berarti Generasi yang hidup pada periode sesudah masa Shahabat RA.

Generasi Sahabat dibagi menjadi dua:

  1. Kibarus Shahabat (Sahabat Besar): yaitu para Sahabat yang seusia dengan Nabi SAW.
  2. Shigharus Shahabat (Sahabat Kecil), yaitu para Sahabat yang hanya menangi Nabi SAW dalam beberapa tahun saja, karena mereka masih kecil.

Pada periode Tabi’in ini, terjadi pertentangan yang sangat hebat di kalangan kaum muslimin yang disebabkan oleh faktor politik, kekuasaan dan pemerintahan atau khilafah. 

Sebagaimana yang telah saya sampaikan, setelah Sayyidina Utsman RA terbunuh, posisi Khalifah digantikan oleh Ali RA. Pada masa pemerintahan Ali RA, kelompok Utsman menganggap bahwa pembunuh Utsman adalah dari kelompok Ali RA. Akhirnya mereka berubah menjadi pemberontak pada masa pemerintahan Ali RA. 

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Abu Sufyan adalah panglima kafir ketika Fathul Makkah, namun dia diampuni oleh Rasulullah SAW. Dia masuk Islam karena Rasulullah SAW berkhutbah; 

Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan (pada saat Fathul Makkah) maka dia akan aman.

Seluruh pasukan yang ada di rumah Abu Sufyan akan aman.

Janda-janda juga aman, tidak boleh diganggu oleh pasukan Islam.

Seluruh tempat ibadah Yahudi dan Nashrani aman.

Karena keluhuran budi Rasulullah SAW ini,  Abu Sufyan akhirnya masuk Islam.

Di tengah pertengkaran antara kelompok Utsman RA dan Ali RA, Mu’awiyah memanfaatkan peluang dengan cara mencalonkan diri sebagai Khalifah. 

Karena usahanya tidak berhasil, maka terjadilah perang Shiffin antara pasukan Ali RA dengan pasukan Mu’awiyah.

Setelah Ali RA wafat, Mu’awiyah berangkat  ke Damaskus, Syam. Di sana Mu’awiyah mendirikan Daulat Bani Umayyah atau Umawiyah, dan dia menjabat sebagai raja pertama Daulat Bani Umayyah. Dengan demikian, pemerintahan Islam berpindah dari Madinah ke Damaskus, Syam. 

Umat Islam Terpecah 

Perseteruan antara kelompok Utsman RA dan Ali RA terus membara, begitu juga dengan perseteruan antara kelompok Ali RA dengan kelompok Mu’awiyah, sehingga terpecahlah umat Islam. Di antara pecahan aliran Islam adalah:

1. Syi’ah 

Yaitu kelompok yang pro Ali secara lahir dan bathin. Syi’ah ini lebih dijiwai oleh politik, daripada agama, karena mereka mempunyai pandangan;

  • Di antara 4 khalifah, khalifah yang sebenarnya hanyalah Ali RA, sedangkan Abu bakar, Umar, dan Utsman RA hanya menyerobot haknya Ali.
  • Agama Islam dan umat Islam hanya sah dipimpin oleh keturunan Rasulullah SAW yang melalui nasab Fatimah yang melahirkan Hasan dan Husain. 
  • Dalam pelajaran Syi’ah, mencaci maki ketiga khalifah selain Ali RA hukumnya adalah wajib.

Kota suci kaum Syi’ah di Irak adalah Karbala, sedangkan kota suci Syi’ah di Iran adalah kota Khon. Saat ini di sana ada Universitas Syi’ah dan yang diajarkan pertama kali adalah membenci 3 Khalifah (Abu Bakar, Umar & Utsman RA). 

Misalnya ketika seseorang hendak ke toilet, maka dia akan berkata; ”Saya akan pergi ke Abu Bakar”. Jadi, Syi’ah dibangun di atas kebencian fanatisme.

2. Kelompok Jumhur (Mayoritas)

Kelompok ini membedakan antara fenomena kepentingan politik dengan syari’at Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini kemudian menjelma menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kata Ahlussunnah berarti orang yang ahli (mengikuti) Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sehingga tidak hanya mengikuti Ali RA saja, ataupun mengikuti Utsman saja, melainkan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Setelah masa Tabi’in, kata Ahlussunnah itu ditambah dengan kata Wal Jama’ah. Yang dimaksud dengan Jama’ah adalah sikap yang sama terhadap 4 khalifah dan seluruh Shahabat dihormati dalam kesejajaran (equality). 

Sedangkan mengenai pertikaian politik di antara para Shahabat RA, Ahlussunnah tidak mau berkomentar, melainkan membiarkannya sebagai fenomena sejarah dan membiarkan Allah SAW menilai  pihak yang benar.

3. Khawarij

Di tengah-tengah pertentangan antara Utsman, Ali, dan Mu’awiyah  ini, kemudian lahir kelompok yang frustasi atau kelompok BSH; Barisan Sakit Hati, yang menamakan dirinya dengan kelompok Khawarij. 

Mereka menjadi kelompok ekstrimis yang membenci semuanya. Semua orang yang berada di luar dirinya adalah salah atau kafir, dan sah untuk dibunuh. 

Dari sini bisa kita ketahui betapa hegemoni politik begitu mempengaruhi pemikiran manusia.

4. Mu’tazilah

Kemudian muncul kelompok intelektual dan elit, kelompok yang merasa paling pintar. Kelompok disebut dengan kelompok Mu’tazilah (secara bahasa, Mu’tazilah berarti eksklusif). 

5. Jabariyah

Selanjutnya muncul kelompok yang putus asa. Menurut mereka semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi kodrat dari Allah SWT, jadi tidak perlu berusaha apapun. Kelompok ini disebut dengan Jabariyah.

6. Murji’ah

Lalu muncul lagi kelompok yang mengharapkan semua kejadiaan saat itu lewat begitu saja. Menurut mereka, suatu saat nanti pasti ada pemimpin betulan. Mereka inilah yang mendirikan kelompok Murji’ah. 

Masing-masing aliran di atas kemudian terpecah-pecah lagi menjadi beberapa bagian.

Pada saat Rasulullah SAW masih hidup, beliau pernah bersabda;

ستفترق أمتي 

Pemikiran kaum Yahudi akan pecah menjadi 71. Namun yang dimaksud dengan angka 71 belum bisa diketahui secara pasti. Pada saat ini, sekte Kristen Protestan saja lebih dari 700 sekte.

Ahlussunnah

Ahlussunnah selamat bukan karena namanya, melainkan karena amalannya sesuai dengan tuntunan Sunnah. Karena hanya kelompok ini yang dijamin selamat, sehingga nama Ahlussunah diklaim sebagai nama kelompok. Padahal yang dinilai oleh Allah SWT adalah in action (amal Perbuatan), bukan sekedar nama (in the name).

Yang pertama kali dibutuhkan oleh orang Islam adalah masalah hukum. Oleh karena itu mereka harus bertanya kepada para ulama yang bisa menguraikan dan menyimpulkan Al-Qur’an dan Hadits menjadi sebuah hukum yurisprudensi. 

Di sini mulailah timbul ijtihad, yaitu bagaimana cara menguraikan Al-Qur’an dan Hadits menjadi sebuah hukum positif yang siap pakai. Hukum positif ini selanjutnya disebut dengan Fiqih.

Karena hukum telah menjadi kebutuhan pokok bagi umat Islam ketika itu, maka ilmu yang tampil terlebih dahulu adalah ilmu Fiqih (Ilmu tentang hukum-hukum Islam). Berdasarkan kebutuhan di atas, maka lahirlah para tokoh Fiqih.

Madzhab dalam Ahlussunnah

Dalam Ahlussunnah lahir 11 Madzhab, akan tetapi yang terkenal hanya ada 4, karena Tujuh Madzhab lainnya hanya mempunyai kumpulan fatwa saja, dan tidak mempunyai teori ijtihad (frame of thinking atau manhaj), sedangkan Empat Madzhab terkenal (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) adalah Madzhab yang mempunyai Manhaj, sehingga pemikiran mereka bisa dikaji. 

Kerangka berpikir empat madzhab (frame of thinking) itu kemudian dikembangkan oleh para pengikut Madzhab sampai sekarang.

Madzhab yang masuk di Indonesia mayoritas adalah Madzhab Syafi’i, akan tetapi yang dibaca oleh kaum muslimin bukan hanya kitab Imam Syafi’i yang berjudul Al-Umm, justru yang lebih banyak dikaji adalah tulisan-tulisan pada pengikut Asy-Syafi’i, semisal; Fathul Qarib, Fathul Mu’in dan Fathul Wahhab. Dalam kitab-kitab itu tidak tampak manhaj yang digunakan oleh Imam Syafi’i RA. 

1. Imam Hanafi

Imam Madzhab yang pertama kali lahir adalah Imam Hanafi (81 H/700 M). Beliau dilahirkan di Kufah (Irak selatan). Sayyidina Ali RA wafat pada tahun 40 H, sedangkan Imam Hanafi lahir pada tahun 81 H, sehingga ada renggang waktu sebanyak 41 tahun. Masa-masa 41 ini penuh dengan pertentangan, dan para ulama’ mempunyai fatwa sendiri-sendiri.

Nama asli Imam Hanafi adalah Abu Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir di ibu kota Daulat Abbasiyah, sehingga beliau termasuk orang metropolitan.

Di Irak banyak ilmu-ilmu dan technologi, sehingga pemikiran beliau menjadi rasional. Jadi kalau ada Hadits yang dha’if, maka beliau lebih mendahulukan akal yang sehat.

اَلْعَقْلُ السَّلِيْمُ فَوْقَ الْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ

Para pengikut beliau pun menjadi orang-orang yang rasional.

2. Imam Malik

Kemudian lahirlah Imam Malik pada tahun 93–179 H. Beliau dilahirkan di Madinah. Madinah adalah salah satu pusat beredarnya Al-Qur’an dan Hadits, sehingga beliau mudah menemukan para mufassir Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itu akhirnya beliau disebut sebagai Ahlul Hadits wal Atsar. 

Imam Malik melakukan pemikiran rasional setelah tidak menemukan keterangan yang jelas di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Menurut Imam Malik, Hadits Dha’if lebih diutamakan dari pada rasio. Jadi, pemikiran Imam Malik cenderung konservatif dan tekstual, sedangkan pemikiran Imam Hanafi cenderung rasional.

3. Imam Syafi’i

Imam Madzhab yang ketiga adalah Imam Syafi’i. Nama asli beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Beliau lahir persis dengan tahun wafatnya Imam Hanafi, yaitu 150 H. Ibaratnya; setelah satu lampu padam, lahirlah lampu yang baru.

Imam Syafi’i RA dilahirkan di Palestina. Pada saat berusia 2 tahun, beliau diajak sang bunda ke Makkah. Kemudian pada usia 7 tahun, beliau sudah hafal seluruh isi Al-Qur’an. Bahkan pada usia 17 tahun, beliau sudah menjadi mufti di Masjidil Haram.

Pada usia 19 tahun, Imam Syafi’i RA berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Salah satu kitab karya Imam Malik yang terkenal adalah kitab Muwattha’. 

Imam Syafi’i RA belajar kepada Imam  Malik selama 2 tahun. Imam Malik adalah sosok orang alim, sufi dan kaya. Sedangkan Imam Syafi’i adalah sosok Imam yang miskin. 

Ketika Imam Syafi’i ditanya tentang kemiskinannya, ”Bagaimana Imam Syafi’i yang sealim ini kok miskin?” Imam Syafi’i menjawab:

“Allah sedang memberi Rahmat kepadaku dengan cara tidak membebani saya hisab harta benda dan pakaian”.

Imam Syafi’i diberi miskin oleh Allah SWT justru membuat beliau bersyukur, sehingga beliau hanya konsentrasi pada keilmuan saja.

Sedangkan Imam Malik adalah orang yang kaya raya. Semua santri beliau diberi fasilitas gratis, mulai dari biaya hidup. Perlengkapan mengaji sampai ilmu yang gratis.

(Kalau Al-hikam bisa menggratiskan para santrinya, maka akan saya ganti namanya menjadi Al-Hikam Al-Maliki)

Ketika dikatakan; ”Imam Malik ini kok kaya banget”. Beliau menjawab: “(Saya kaya) supaya saya bisa mengabdi kepada Allah SWT secara total, pikiran saya, bau saya, harta saya bahkan nyawa saya sekalian hanya untuk Allah SWT.” (Kalau sekarang ada kyai yang kaya, mungkin jawabannya adalah; ”Gus-gus juga memerlukan kekayaan saya”).

Keduanya (Imam Maliki & Imam Syafi’i RA) sama-sama hebatnya, demikianlah potret orang miskin yang seperti Asy-Syafi’i dan orang kaya seperti Imam Malik.

Ketika akan berangkat ke Baghdad untuk belajar kepada Imam Hanafi, Imam Asy-Syafi’i diberi bekal oleh Imam Malik sebanyak 40 dinar emas, unta dan pengawal.

Imam Asy-syafi’i ke Baghdad pada usia 21 tahun untuk belajar kepada Imam Hanafi, namun karena Imam Hanafi sudah wafat, maka beliau belajar kepada murid Imam Hanafi yang bernama Abu Yusuf. Beliau belajar di Baghdad selama 2 tahun. 

Meskipun sudah menjadi imam Madzhab dan mujtahid, beliau masih gemar belajar untuk melakukan pendekatan dan komparasi pendapat-pendapat. Imam Asy-Syafi’i juga tidak mau mengklaim bahwa pendapatnya adalah satu-satunya pendapat yang bisa mewakili Al-Qur’an dan Hadits.

Pendapat beliau adalah hasil analisa dengan ... disertai responsibility atau pertanggung-jawaban ilmiah. 

Setelah dari Baghdad, Imam Syafi’i berangkat ke Mesir. Pada saat itu Mesir merupakan salah provinsi dari kerajaan Islam yang pada masa Khalfiha Utsman RA, Mesir dipimpin oleh Gubernur Amr bin Ash. 

Perbedaan lingkungan telah menyebabkan perbedaaan pendapat di kalangan ulama’. Pemikiran Imam Malik bersifat konservatif, pemikiran Imam Hanafi yang rasional dan pemikiran Imam Asy-Syafi’i yang moderat, yaitu menggabungkan antara pemikiran konservatif dan rasional. 

Imam Asy-Syafi’i RA sangat menghormati Imam Malik, begitu juga sebaliknya. Padahal lebih dari 3600 masalah, kedua Imam ini berbeda pendapat.  

Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa yang disebut dengan ”menghormati” adalah penghormatan kepada syakhsiyah dan muru’ah-nya. Jadi bukan berarti tidak boleh berbeda pendapat dengan orang yang kita hormati. 

Dalam aliran Syi’ah, mereka mengikuti pendapat karena berdasarkan Imamiyah. Sedikit pun tidak boleh menyeleweng, semisal; menyeleweng dari pendapat Ayatullah Khomaeni. (Kalau menyebut Imam Khomaeni di Iran harus disertai dengan gelar pujian, semisal; Al-Imam Al-Akbar Al-Khomaeni).

4. Imam Ahmad bin Hanbal 

Imam Madzhab yang terakhir adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 H, yaitu 14 tahun setelah lahirnya Imam Syafi’i. Jadi ada dua Imam Madzhab yang hidup dalam satu kurun.

Imam Hanbali dilahirkan di Baghdad, tapi beliau tidak hanya berdiam di satu tempat, akan tetapi beliau mengadakan perjalanan mencari ilmu ke Syiria, Hijaz (Makkah-Madinah), dsb.

Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal lebih dekat kepada Imam Malik, sekalipun di dalam masalah Ushul fiqih dan Fiqih, beliau lebih banyak membaca pendapat-pendapat Imam Syafi’i. 

Pendapat Imam Hanbali lebih ketat, banyak hukum haramnya. (Hal ini berbeda dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menganggap semua halal dan tidak ada yang haram karena semuanya ditinjau dari tinjauan HAM). 

Sebenarnya pendapat-pendapat Imam Ahmad jarang yang orisinil, akan tetapi merupakan tathbiq (penyelaman) pada pendapat-pendapat Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. (Pemerintah Arab Saudi saat ini lebih banyak memakai Madzhab Hanbali).

Syi’ah

Syi’ah yang sangat berpikir pada keturunan dan kepemimpinan juga mempunyai Fiqih sendiri yang tidak mengikuti 4 madzhab itu. Misalnya; Syi’ah di Iran, shalatnya hanya 3 kali dalam satu hari. Shalat Dzuhur dan Ashar dijamak dan qashar tanpa ada sebab apapun. 

Padahal menurut Imam Syafi’i, shalat Jamak-Qashar baru bisa dilakukan jika sedangan dalam perjalanan yang jauh, sedangkan menurut Imam Hanafi shalat Jamak-Qashar berdasakan pada berat-tidaknya masyaqat yang dialami seseorang. (Misalnya; Seseorang yang mendaki Merapi mengalami masyaqat yang luar biasa, maka dia boleh shalat Jamak-Qashar).

Menurut Syi’ah, ketika wudhu’ sepatu tidak perlu dicopot, tapi cukup diusap saja. 

Bagi Syi’ah, shalat dengan sujud di karpet tidaklah sah, karena sujud harus dilakukan di atas batu. Oleh karena itu di Mushalla-mushalla Iran, meskipun sudah ada karpetnya, namun masih disediakan batu-batu dalam jumlah banyak, yakni sejumlah jama’ah, untuk digunakan sujud, apalagi sujudnya harus persis di atas batu itu. 

Batu yang paling afdhal, adalah batu yang berasal dari Karbela, baik dari debu yang dicetak ataupun dari batu murni. Bagi orang Syi’ah yang kaya, dia akan memakai batu akik yang mahal sebagai tempat sujud. Sujud boleh dilakukan di atas kayu, akan tetapi kayu tersebut berasal dari pepohonan yang tidak boleh dimakan. Semisal; kayu jati.

Ketika ada sesuatu yang jatuh, orang Syi’ah akan mengucapkan ”Ya Ali”, bukan mengucapkan Inna lillahi wa Inna lillahi Raji’un.

Yang paling top dalam Syi’ah adalah konsep kawin yang sudah sah meski tanpa ada saksi maupun wali, asalkan sudah ada MoU (Memorandum of Understanding), bahkan Syi’ah memperkenankan kawin kontrak (mut’ah) dengan jangka waktu tertentu. Jadi, dalam tradisi Syi’ah, cerai bisa diprogramkan. 

Yang paling berbeda dengan yang lain adalah sistem pemerintahan dalam Syi’ah. Pemilihan di Iran memang bersifat demokratis, akan tetapi posisi eksekutif berada di bawah para Mullah, Hujjatullah dan Ayatullah.

Syi’ah ini karena begitu beda dengan yang lain, maka mereka tidak gampang membuka diri. 

Dalam Syi’ah ada istilah Taqiyyah (kamuflase penantian). Taqiyyah berarti menyembunyikan diri karena kondisinya belum memungkinkan. Mereka baru akan membuka diri jika sudah ada kesempatan.

Ada seorang tokoh Syi’ah yang bertemu saya di Teheran. Dia bercerita bahwa dia pernah mengajar di Belanda, akan tetapi dia belum sempat mengemukakan paham syi’ahnya. Bahkan sampai usia tua, dia belum sempat menunjukkan bahwa dia itu orang Syi’ah. 

Jumlah pengikut Syi’ah di Irak kira-kira 60 %, 35 % Sunni dan 5 % Kurdi. Sedangkan di Iran, mayoritas penduduknya adalah Syi’ah.

Kesimpulan akhirnya; Yang paling dibutuhkan pada 40 tahun pertama pasca wafatnya Ali RA adalah hukum. Di belakang nanti akan muncul Ilmu Tafsir, Tasawwuf, dll. Akan tetapi ilmu-ilmu itu tumbuh sendiri-sendiri, sehingga para tokohnya merasa alim sendiri. Baru setelah 300 tahun kemudian, ilmu-ilmu tersebut disatukan oleh Imam Al-Ghozali.(*)

Sumber : Dokumentasi Ceramah KH Achmad Hasyim Muzadi

2 komentar untuk "Sejarah Perkembangan Islam"

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus