Tujuan Perkawinan dalam Islam serta Hak-hak yang Terkandung di Dalamnya

Tujuan Perkawinan dalam Islam

Tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an, ada 3 macam:

1. Sakinah (ketenangan) 

Ada beberapa istilah di dalam Al-Qur'an yang kelihatannya hampir sama, namun sebenarnya berbeda. Sakinah itu ketenangan atau ketentraman, sedangkan Thuma'ninah itu renungan. Dalam bahasa Jawa, Sakinah itu tentrem, sedangkan Thuma'ninah itu anteng. Tenang itu belum tentu anteng. 

Thuma'ninah (anteng) artinya ada pengendapan pikiran, sedangkan Sakinah itu tentram dan tenang. Di dalam Thuma'ninah itu ada unsur peresapan pemikiran dan renungan. Salah satu rukun shalat itu anteng, bukan tentrem. Ada lagi istilah, Mahabbah (seneng). 

Senang dengan tentram itu berbeda. Senang terkadang bikin tentram, kadang tidak. Kalau kesenangan itu haq (benar), maka akan menjadi Sakinah. Kalau kesenangan itu bercampur dengan nafsu, maka dia akan melahirkan gejolak atau kekacauan, baik dalam dirinya maupun di dalam keluarganya. 

KH Achmad Hasyim Muzadi
KH Achmad Hasyim Muzadi


2. Mawaddah 

Mawaddah itu cinta atau katresnan, akan tetapi disertai dengan tanggung-jawab, sedangkan kalau mahabbah itu hanya senang saja. Jadi, Al-Mawaddah berarti Al-Mahabbah wa Dhiman (Mawaddah adalah cinta dan tanggung jawab). 

3. Rahmat 

Rahmat itu ada berbagai macam jenis, antara lain: 

  • Rahmat kehidupan (Rahmatul Hayaat atau Rahmat Dunyawiyyah). Misalnya; rezeki, ketenangan, ketentraman, keserasian, keturunan, silaturrahim, dsb. 
  • Rahmat Uluhiyyah, yaitu Rahmat dalam hubungan kita dengan Allah SWT. Orang yang sudah menikah dianggap sempurna sebagai orang. Jadi, ada Rahmat ketuhanan, yaitu hubungan manusia dengan Allah SWT. 
  • Rahmat 'Ubudiyah (Rahmat Ibadah). Contoh; Pahala shalat orang yang sudah berkeluarga itu lebih banyak dari pada orang yang belum menikah (joko). Disebutkan di dalam Hadits bahwa pahala shalat orang yang sudah menikah itu berlipat 70 kali. Kenapa demikian? Karena orang yang masih joko itu tidak pernah mendo'akan anaknya, sedangkan orang yang sudah menikah itu mendo'akan istri, anak dan keturunannya sebagaimana do'a yang terdapar dalam Surat Al-Furqan : 74 

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Dari sini saja sudah kelihatan perbedaan antara joko dengan orang yang sudah menikah. Ketenangan seorang suami juga membawa ketenanang pada yang lain. Suami sebagai pemimpin keluarga, teladan anak, dll. Itu semua adalah Rahmat. 

Jadi dalam pernikahan itu ada Sakinah, Mawaddah dan Rahmat

Sakinah itu hidup tenang, tentram dan stabil. Stabil berarti tetap bertahan ketika ada goncangan, bukan berarti bahtera rumah tangga tanpa goncangan. Jadi ketika menghadapi suatu goncangan, di sana ada pemecahannya. 

Tidak betul kalau orang yang sudah menikah disebut tentram, lalu tidak ada apa-apa, karena hidup ini tidak mungkin tidak ada apa-apa, pasti ada gelombangnya. Insya Allah, dengan satu keluarga yang tangguh, seseorang akan tetap stabil dalam menghadapi goncangan-goncangan itu. 

Kalau seseorang menikah, maka senangnya itu kira-kira 6 bulan sebagai bulan madu. Ketika sudah ganti bulan ke-7, bulannya sudah tidak lagi semanis madu, mungkin sudah sepet (pahit). 

Pada saat istri mengandung saja, keadaan sudah repot. Istri memerlukan obat, ada juga istri yang rewel ketika mengandung, ngidam, dsb. Terkadang ada istri yang ngidam, tiap hari ingin ngambu kreweng. Kalau istri saya ngidam, pasti masuk Rumah Sakit, karena tidak mau makan maupun minum. 

Pada saat-saat itu yang namanya bulan madu sudah hilang, ganti menjadi bulan tanggung-jawab. Ketika anaknya sudah terlahir, orang tua akan gembira; namun mengurus anak adalah tanggung-jawab orang tua. Dari situasi naik turun ini, tetap ada stabilitas. 

Mempunyai anak sebelum kawin, kemudian istrinya ngidam, berarti hal itu adalah kecelakaan, bukan tanggung jawab. Maka di sana tidak mungkin ada Sakinah. Oleh karena itu Allah SWT memperingatkan bahwa hanya melalui perkawinan, akan muncul Sakinah. 

Peringatannya, jika keluar dari jalur pernikahan, maka jangan harap ada Sakinah. Nah, Sakinah itu berarti stabilitas, termasuk ketika ada goncangan yang menerpa.

Mawaddah adalah cinta kasih dan tanggung jawab kumpul jadi satu. Tanggung jawab apa? Yaitu tanggung jawab terhadap hak-hak wanita (istri). Jika ada kecintaan dan tanggung jawab, maka Allah SWT akan memberikan Rahmat di belakang perkawinan itu. 

Rahmat Allah SWT itu banyak sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Contoh Rahmat kehidupan dalam pernikahan; Yang asalnya orang lain akhirnya menjadi besan, mantu, mertua, ipar, dll. Silsilah keturunan hanya berasal dari perkawinan. 

Dari situ kemudian muncul istilah mahram dan bukan mahram. Hukum waris juga ada setelah ada keturunan. Oleh karena itu, perkawinan disebut dengan separuh agama (Nishfuddin), karena separuh agama itu mulek di lingkungan perkawinan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. 

Rumah tangga harus dimodali dengan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam salah satu Hadits Nabi SAW disebutkan:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. وَخِيَارُكُمْ، خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ خُلُقًا

Sebaik-baik orang adalah orang yang akhlaqnya baik. Dan orang yang terpilih di antara kamu semua adalah orang yang terpilih di dalam bersikap (berakhlaq) baik kepada istri-istrinya.

Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW di atas, maka sikap baik di dalam keluarga harus dimulai dari pihak laki-laki. Ada sebuah Hadits:

فَإِكْرَامُ الْمَرْأَةِ دَلِيْلُ الشَّخْصِيَّةِ الْمُتَكَمِّلَةِ، وَإِهَانَتُهَا عَلاَمَةٌ عَلَى خِسَّةِ وَاللَّئُمِ 

Penghargaan seorang suami pada istri menunjukkan suami itu mempunyai kepribadian yang sempurna (cukup). Dan penghinaan suami kepada istri menunjukkan bahwa suami itu penuh cela dan cacat.

Perlu diselidiki dalam ilmu psikologi kebenaran pernyataan di atas, yaitu orang yang baik sama istrinya, berarti dia orang baik; dan jika orang itu menyia-nyaikan istrinya, berarti dia memang orang yang tidak baik. Dalam sebuah Hadits disebutkan:

مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ اللَّئِيْمُ

Hanya laki-laki yang mulya, yang memulyakan wanita &  hanya laki-laki yang hina, yang menghinakan wanita.

Hadits ini bersifat secara umum, sedangkan Hadits sebelumnya bersifat khusus antara suami dengan istri. 

Semua persoalan-persoalan keluarga tidak boleh dibawa keluar ke masyarakat, karena hukumnya haram. Persoalan-persoalan keluarga harus disimpan sendiri. Jangan sampai engkau ngede-ngedel dan ngelek-ngelekno anak dan istrimu di hadapan masyarakat, termasuk kepada mertua sekalipun, kecuali hal itu diperlukan dalam penyelesaian masalah. 

Jadi, jangan gampang-gampang lapor, selesaikan sendiri di dalam keluarga. Jika tidak bisa, boleh lapor, tapi yang dilaporkan itu masalah, bukan musykilah. Masalah adalah apa yang perlu dipecahkan, sedangkan Musykilah adalah ruwet-ruwet sing gak karuan yang tidak perlu disampaikan. 

Hanya hal-hal yang perlu dipecahkan saja yang boleh disampaikan kepada orang tua atau mertua. Sedangkan kalau dilaporkan kepada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya, hukumnya haram menurut Rasulullah SAW. 

Biasanya arisan merupakan sumber infotainment, sedangkan infotainment itu isinya cuma ngerusak saja. Cuma yang saya heran adalah kenapa silibriti itu kok senang ngguya-ngguyu koyo bedes, padahal keluarganya diudel-udel begitu, hanya karena sekedar mencari kemasyhuran. 

Padahal yang dibutuhkan dalam keluarga itu keluhuran, bukan kemasyhuran!

Dalam sebuah Hadits Shahih Bukhari riwayat Abu Hurairah RA disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

Hadits di atas bermakna, yang sering-seringlah menasehati para wanita dan ndak bisa sekali jadi. Kenapa? Karena wanita itu dibuat dari tulang rusuk orang laki-laki. Tidak ada tulang rusuk yang lurus, pasti bengkok. 

Oleh karena itu wanita tidak bisa dituntut terus terang seperti laki-laki, pasti ada menggak-menggok-nya. Di situlah letak seninya. Jika wanita tidak mau, tidak mesti tidak mau; atau wanita itu seperti orang yang lari, tapi minta dikejar sebagaimana dalam film-film India. Jadi yang dimaksud dengan " الضِّلَعِ " adalah sesuatu yang tidak rasional, tapi indah. 

Letak perbedaan wanita dengan diplomat adalah kalau diplomat itu bilang "ya", itu belum pasti "ya", karena diplomat itu biasanya menghindari kata-kata "tidak". 

Misalnya diplomat tidak setuju akan sesuatu, maka dia akan berkata; "Nanti kita pikirkan", padahal dia tidak memikirkan. Sedangkan kalau wanita itu bilang "tidak", itu belum pasti "tidak". 

Kalau wanita marah-marah dan menyuruh kita pergi, kita jangan pergi, karena maksudnya adalah supaya kita tidak pergi. Anehnya di sini dan justru seninya terletak pada keanehan tersebut. Jadi kata " الضِّلَعِ " juga bisa dimaknai wanita itu lebih ingin "mengukur" dari pada ingin dituruti. 

Misalnya kalau kamu pergi ke rumah wanita, sebenarnya wanita itu ingin menemuimu, namun hanya untuk melihat reaksimu. 

Allah SWT menciptakan makhluknya beraneka ragam. Wanita itu emosinya di atas rasio, mungkin dengan prosentase emosi 60% dan rasio 40 %, sedangkan laki-laki itu rasio 60 % dan emosi 40 %. 

Sehingga kalau mau kirim surat, harus disertai kata-kata yang menyenangkan emosinya, jangan seperti telegram. Kalimat tersebut dibuat untuk menyentuh bagian emosi 60% kaum wanita, di samping bagian rasio. 

Dengan demikian, maka yang terjadi adalah al-mu'asyarah bil ma'ruf (tata pergaulan kekeluargaan menurut Islam).

Hak-hak dalam Perkawinan

Karena suami mempunyai tanggung jawab, maka dia juga mempunyai hak-hak atas istri. Misalnya hak menjatuhkan thalaq. Hanya dengan tanggung-jawab suami yang hilang, istri boleh minta cerai melaui pengadilan dan semacanya. 

Namun proses menuju sana harus ada ishlah (perbaikan) di antara keduanya dan mendatangkan sesepuh kedua belah pihak. Jika tidak "ketemu", maka dilanjutkan ke pengadilan. 

Adapun hak untuk mencerai itu aslinya berada di tangan laki-laki. Sekalipun demikian, namun Rasulullah SAW mengingatkan melalui Hadits: 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Barang halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah cerai.

Di sini, banyak orang-orang di luar Islam yang mengkritik perceraian. Mengapa Islam membolehkan perceraian? Pertanyaan ini banyak dipertanyakan oleh agama-agama di luar Islam atau oleh negara-negara di luar negara Islam. 

Menurut mereka, Apakah memberikan hak cerai ini bukan sebuah kedzaliman?. Jawabannya adalah bahwa perceraian itu baru dimungkinkan terjadi pada saat emergency (darurat). 

Tadi sudah disebutkan seorang laki-laki mempunyai hak menjatuhkan thalaq, tapi sudah diberi tahu bahwa thalaq itu tidak disukai oleh Allah SWT. Seorang istri pun kalau ingin cerai, harus melalui proses-proses yang berat. 

Kenapa cerai masih dimungkinkan terjadi? Pertama, untuk menghindari perbuatan fakhsya'; Kedua, untuk menghindari perbuatan mungkar. Misalnya ada seorang wanita yang sudah tidak berfungsi atau laki-lakinya yang tidak berfungsi, maka pasangannya biasanya mau kawin. 

Ketika dia mau kawin, kemudian kok digandoli, maka akhirnya dia berbuat nakal. Jadi, sebenarnya perselingkuhan itu sangat dihindari oleh Islam. Beda dengan orang-orang Barat yang mengkritik cerai, tapi mereka berbuat selingkuh semaunya saja. 

Hal itu sudah menjadi budaya di mana-mana di negara Barat. Akhir-akhir ini banyak juga perceraian di kalangan mereka, terutama kalangan selebriti. Bintang-bintang film di sana juga sering kawin-cerai. 

Memang ada agama yang tidak memperkenankan perceraian. Sedangkan di dalam Islam, perceraian adalah alternatif terakhir, kalau sudah tidak ada jalan lain. 

Poligami

Perceraian ini sama halnya dengan poligami. Poligami juga mendapat banyak kritikan dari orang luar. Padahal poligai di dalam Islam itu bukan ketentuan, melainkan alternatif (pilihan) semata. Bukan orang Islam disuruh untuk poligami, karena yang diperintahkan adalah menikah dengan satu istri. 

Baru kalau ada faktor-faktor lain, seseorang diperkenankan untuk menikah lagi (poligami). Itupun untuk menghindari hubungan yang tidak sah. Di dalam Islam, hubungan tidak sah itu termasuk penghinaan, sedangkan orang Barat menganggap hubungan tidak sah sebagai kebebasan. Di sini ada perbedaan pengukuran. 

Selain alasan di atas, kita tidak tahu Allah SWT menciptaan berapa laki-laki dan wanita di suatu negeri. Misalnya di Jatim ini wanitanya lebih banyak dari pada laki-laki, sedangkan di Prancis itu laki-laki lebih banyak dari pada wanita, adapun di Mesir itu jumlah laki-laki dan wanita relatif sama. 

Kalau jumlah laki-laki yang banyak, maka orang laki-laki sulit untuk kawin lagi. Kalau jumlah laki-laki dan wanita sama, maka bisa menikah dengan satu orang saja sudah Alhamdulillah. Sedangkan kalau jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki, maka wanita-wanita yang "tersisa" itu mau diapakan?

Misalnya jumlah laki-laki sebanyak 1000 orang, sedangkan jumlah kaum wanita sebanyak 1300, kemudian poligami dilarang keras, maka wanita sebanyak 300 orang itu posisinya di mana? 

Sebagai wanita yang harus terhormat dan sebagai wanita yang harus mendapatkan suami yang bertanggung jawab terhadap keturunan dan kehidupan, bukan dengan jalan maksiat. Dalam kondisi seperti itu, maka alternatif (poligami) itu menjadi penting.

Alasan ketiga poligami: Adat istiadat suatu tempat itu tidak sama. Di Barat, menikah lebih dari satu orang itu dianggap seperti kurang terhormat. Sedangkan di Madura banyak wanita yang ingin dinikahi oleh Kyai hanya ingin mempunyai anak yang nantinya dipanggil "Gus". Jadi, di sana yang aktif justru kaum wanita. 

Seperti contoh teman saya di Asembagus yang mempunyai 4 orang istri. Itupun masih ada yang antri untuk menjadi istrinya. Begitu juga teman saya seorang Kyai di Mojokerto yang mempunyai 4 istri. 

Anehnya mereka berempat tinggal di dalam satu rumah dan hidup tenang dan rukun. Jadi, dalam satu rumah ada empat kamar yang ditempati oleh masing-masing istri.

Dalam menanggapi masalah poligami ini, saya lebih senang mengatakan sebagai keleluasan Islam untuk menampung seluruh keadaan di dunia yang berbagai macam, tapi tetap tidak melanggar syari'at Nabi Muhammad SAW. 

Bagaimana yang di Barat, di Timur, Afrika Selatan, Indonesia? Bagaimana negara yang laki-lakinya lebih banyak? Bagaimana yang wanitanya lebih banyak? 

Sehingga dengan demikian aturannya tidak kaku, justru menjadi kenyal untuk menampung berbagai macam keadaan tersebut. 

Sekalipun demikian, dia tidak melanggar konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah. Mawaddah itu mengharuskan tanggung-jawab. Orang yang tidak resmi menikah, tidak ada tanggung jawabnya. Jadi, di sini kita melihatnya sebagai Rahmatan lil 'alamin. 

Budaya dalam Perkawinan

Kalau dilihat adat istiadat satu persatu, mungkin suatu adat istiadat cocok terhadap satu alternatif, namun belum cocok dengan alternatif yang lain. Tetapi kalau melihat pada adat di dunia secara keseluruhan, maka akan tiba pada kesimpulan tidak cukup hanya dengan satu alternatif saja.

Adapun hal-hal yang bertentangan dengan syari'at Islam, betapapun hal tersebut telah menjadi adat istiadat sebuah masyarakat, maka adat itu tetap tidak boleh. Misalnya; Ketika saya pergi ke Lombok, di sana ada suku Sasak. 

Di daerah suku Sasak ini ada adat perkawinan yang aneh. Jika seorang laki-laki ingin menunjukkan cintanya kepada wanta, maka sebelum kawin, wanita itu harus diculik terlebih dulu dan di bawa pergi jauh dan hidup bersama selama satu minggu. Kalau wanita sudah lungset, baru si laki-laki lapor kepada calon mertua. 

Lari ini dinilai sebagai tanda cinta. Sekalipun hal seperti ini merupakan bagian dari budaya, namun tidak usah diakomodasi dalam Islam. Yang diakomodasi adalah yang ada kecintaan dan tanggung jawab yang bersifat duniawi dan ukhrawi, baik kepada keturunannya, keluarganya maupun kepada Allah SWT.

Nah, bahwa dalam suatu perkawinan ada yang ditambah-tambahi, itu hukumnya boleh. Yang penting kan ada calon suami-istri, wali, akad dan saksi. Ini yang sifatnya yuridis formal. 

Di dalam adat perkawinan di Solo ada siraman, membawa keris, dsb. Begitu juga dengan adanya janur kuning, pisang yang berbuah supaya gampang punya anak. Semua itu hanya variasi dan tidak masuk lingkup hukum, namun termasuk budaya. 

Sedangkan berkenaan dengan budaya ini, ada sebuah qa'idah fiqihyang menyatakan bahwa sepanjang suatu budaya tidak nabrak syari'at, maka silahkan kembalikan kepada adat budaya.(*)

Sumber : dokumentasi ceramah KH Achmad Hasyim Muzadi

Posting Komentar untuk "Tujuan Perkawinan dalam Islam serta Hak-hak yang Terkandung di Dalamnya"